Oleh: Yunizar Ramadhani
Ketika Thales mengungkapkan sebuah pernyataan bahwa
alam semesta berasal dari air, Yunani mungkin belum sadar bahwa peradaban
mereka akan berubah total dan perubahan itu mempengaruhi peradaban seluruh umat
manusia. Ungkapan Thales sangat mengejutkan waktu itu, sebab masyarakat yang
telah terbiasa dengan cara berfikir mitos – bahwa dewa Zeus beserta
keturunannya adalah pencipta dan pengendali alam – dihadapkan dengan cara
berfikir baru yang lebih sistematis dan disertai dengan dalil-dalil logis yang
kuat.
Cara berfikir sistematis logis itu kemudian mencapai
tahap perkembangannya yang signifikan melalui Socrates beserta dua muridnya,
Plato dan Aristoteles, yang menurut kebanyakan ilmuwan – khususnya Isaiah
Berlin, seorang pemikir Rusia berdarah Inggris, dalam Four Essays of Liberty – pola fikir kita tentang dunia tak pernah
jauh dari cara berfikir kedua orang itu: Yang pertama berorientasi idealis,
sedang yang terakhir lebih realis. Yang pertama berpirinsip bahwa apa yang kita
fahami tentang dunia adalah segala apa yang ada dalam ide kita, sehingga
kenyataan adalah ide sedangkan di luar ide hanyalah bayangan daripadanya. Yang
terakhir menganggap bahwa dunia di luar kita adalah kenyataan yang saling
berhubungan melalui suatu hukum logis. Di sini pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles sudah mengarah
kepada persoalan yang lebih radikal (mendasar), yakni persoalan manusia dan
pengetahuannya. Aktivitas yang dilakukan para tokoh itu adalah Filsafat.
Sebagian orang menuduh bahwa filsafat – istilah ini
pertama kali dimunculkan oleh Phytagoras yang secara harfiah berarti “cinta
kebijaksanaan” – sebagaimana dilakukan oleh para pemikir Yunani dan Abad
Pertengahan adalah cara manusia memahami alam semesta beserta segala
fenomenanya sebelum ditemukannya alat-alat yang membantu manusia memahami alam
secara empirik, namun tentunya tuduhan itu tidaklah benar tatkala pada
kenyataannya manusia terus-menerus menemukan segala hal yang tidak mampu
dijangkau oleh pengetahuan indrawi, seperti manusia itu sendiri dan
pengetahuan. Filsafat akhirnya menjadi jawaban dari segala pertanyaan, baik
tentang alam maupun manusia dan pengetahuannya.
Dengan demikian, filsafat bukanlah pengetahuan atau
suatu bangunan ilmu, melainkan suatu cara berfikir. Aktivitas berfikir memang
menjadi ciri khas manusia. Katakanlah, dalam satu jam setiap hari kita telah
melakukan aktivitas berfikir beratus-ratus kali, namun tidak semua aktivitas
berfikir kita itu adalah filsafat. Lalu apa yang membedakan filsafat dengan
berfikir biasa?
Filsafat berjalan secara sistematis. Dari pertanyaan
kepada kesimpulan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Pertanyaan filosofis
berkenaan dengan segala hal di balik segala yang tampak, abstrak. Terkadang
berupa definisi-definisi, terkadang berupa nilai-nilai. Ketika melihat kursi,
misalnya, filsafat tidaklah mempertanyakan ukuran, warna, bentuk dan hal-hal
luaran lainnya, melainkan ia mempertanyakan apakah kursi itu benar-benar ada
(ontologi), bagaimana kursi itu ada atau bagaimana orang mengetahui kursi itu
(epistemologi), lalu apa makna dan nilai etis kursi (aksiologi), dan bagaimana
orang bisa sepakat menyebut benda itu “kursi” (filsafat bahasa). Dengan ini maka ruang lingkup filsafat adalah hal-hal
yang radikal, hakikat segala sesuatu, atau segala sesuatu di balik segala
sesuatu yang sudah biasa. Orang-orang
menyebutnya dengan metafisika (Arab: “ma
ba’da al-thabi’ah), atau dalam tradisi filsafat Islam disebut dengan “al-falsafah al-ula” – meskipun para
filosof postmodern dikatakan meruntuhkan metafisika, namun sebenarnya mereka
tidaklah sama sekali meluluhlantakkan filsafat, namun mereka hanya mengkritik
otoritas makna (logos) (mengenai ini
akan dibahas pada kesempatan lain). Olah pikir mengenai hal-hal radikal itu, dengan cara yang
sistematis itu, haruslah bersifat komprehensif atau menyeluruh, dalam arti
jawaban filosofis harus dapat diterapkan dalam berbagai ruang dan waktu
meskipun dalam sejarahnya suatu pemikiran filsafat dikritik oleh pemikiran yang
lain. “Filsafat kursi” tidak hanya dapat berlaku untuk kursi tertentu, dalam
situasi tertentu, dan di tempat tertentu saja, melainkan makna itu ada bagi
setiap kursi.
Mengetahui hal ini kadang timbul pertanyaan
menggelitik: Bukankah filsafat dengan karakteristiknya itu terkesan membuang-membuang
waktu? Bukankah nampaknya sia-sia berfikir mengenai kursi, padahal kursi sudah
tersedia di hadapan kita untuk digunakan? Sudah menjadi kemakluman bersama
bahwa setiap tindakan kita diawali dengan aktivitas berfikir. Pemikiran
mempengaruhi tindakan. Karena itulah akal mendapat terhormat dan mendapat
jabatan paling tinggi di antara mata, mulut, tangan, kaki, dan seluruh anggota
tubuh. Karena itu pulalah ketika kita melakukan tindakan yang salah, orang akan
menghujat: “Kamu tidak punya otak, ya?!” Akal dipuja sepanjang zaman. Kitab
suci menceritakan bahwa orang-orang jahat dijebloskan ke neraka karena tidak
berfikir (QS.al-Mulk:15). Dalam tradisi filsafat Islam madzhab perpatetik, alam
semesta tercipta dari fikiran Tuhan.
Pemikiran biasa sudah berpengaruh cukup besar bagi
kehidupan sehari-hari. Bagaimana jika dilihat dalam skala yang lebih besar,
seperti masyarakat, bangsa, atau bahkan suatu peradaban? Di sinilah kita dapat
melihat filsafat begitu memainkan peran dalam kehidupan manusia. Di sini kami
akan memberi contoh kecil:
Sering muncul pertanyaan, mengapa bangsa-bangsa Timur
yang memiliki sumber daya alam melimpah justru kalah maju daripada
bangsa-bangsa Barat yang tak banyak memiliki sumber daya alam? Jika kita
menjawab bahwa hal tersebut karena Barat menuai hasil gerakan kolonialisme
selama berabad-abad terhadap Timur, itu adalah jawaban sejarah. Namun apa yang
membuat Barat melakukan kolonisasi? Fikiran apa yang ada di benak mereka?. Jika
kita menjawab karena Barat menguasai ekonomi Timur, itu jawaban ekonomi. Apa
yang membuat mereka melakukan itu? Jika kita menjawab karena melakukan politik
penaklukan terhadap Timur, itu tentu jawaban Politik. Fikiran semacam apa yang
mendasari tindakan Barat itu?
Filsafat menemukan jawaban yang jauh melampaui
jawaban-jawaban tersebut di atas. Ingat bahwa filsafat berbicara segala hal
yang mendalam dan radikal. Filsafat menjawab bahwa kemajuan Barat dibanding
Timur berujung pada pandangan bangsa-bangsa itu terhadap alam semesta (filsafat
alam) dan kedudukan manusia di tengah alam raya (filsafat manusia).
Bangsa-bangsa Timur dengan kebijaksanaannya yang luhur
memandang bahwa alam semesta adalah sanak-keluarga, alam semesta adalah entitas
yang berkedudukan sama dengan manusia, alam semesta dan manusia merupakan
wujud-wujud yang berasal dari wujud primordial yang sama, yakni suatu Ruh Suci
yang mengatasi makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (manusia) – Dalam
Hinduisme disebut Atman, dalam Islam
disebut Allah, dan lain sebagainya .
Berdasarkan prinsip kesatuan wujud itu orang-orang Timur menganggap alam adalah
bagian dari dirinya sendiri, sehingga mengeksploitasi sumber daya alam adalah
sebuah kejahatan etis.
Adapun Barat menganggap alam semesta dengan sumber
daya alamnya adalah sesuatu yang ditaklukkan. Barat menempatkan alam sebagai
sub-ordinat, sesuatu di luar diri manusia, “yang lain” (the other), sedangkan manusia berada pada posisi ordinat, penguasa,
penakluk, “sang diri” (the one).
Prinsip Barat ini dipengaruhi oleh pengalaman pahit mereka di Abad pertengahan
dimana kemanusiaan direnggut oleh institusi agama. Revolusi kebablasan
bangsa-bangsa Barat itu menghasilkan pemikiran radikal yang berporos pada
liberalisasi individu, yakni setiap orang memiliki kebebasan penuhnya, dalam
cita-cita humanisme dan anthroposentrisme (segala hal terpusat pada manusia).
Sampai di sini kita dapat melihat bahwa pandangan
filosofis mengenai alam dan manusia ternyata awal mula fenomena kehidupan yang
terpampang di depan kita. Pemikiran menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi
tindakan. Dalam sejarahnya, filsafat melecut kemunculan ilmu-ilmu yang kita
kenal saat ini, seperti ilmu-ilmu alam (fisika, biologi, kimia), ilmu-ilmu
sosial (sosiologi, antropologi, sejarah), ilmu-ilmu humaniora (seni, musik,
budaya, peradaban, dan lain-lain). Namun karena ilmu-ilmu tersebut lahir dari
orang-orang Barat, maka nilai-nilai dan tujuan yang terkandung dalam ilmu-ilmu
itu lebih bersifat penaklukkan. Karena itu, tugas filosof-filosof yang
bersemangatkan Timur dan terikat dengan keyakinan keagamaan adalah mengubah
nilai-nilai dan tujuan ilmu-ilmu tersebut dalam rangka penyatuan diri manusia
dengan Ruh Suci itu.
Makna lain yang bisa kita dapatkan dari uraian
mengenai perbedaan pemikiran Timur vs Barat tadi adalah soal standarisasi. Apa
yang dimaksud “maju” bagi Timur dan Barat tentu berbeda. Bagi Timur kemajuan
kehidupan adalah sejauh mana manusia menyatu dengan alam semesta, sedangkan
bagi Barat adalah sejauh mana manusia mampu menaklukkan alam semesta dan
mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Karena itu, kita
tidak dapat menetapkan satu standar kemajuan untuk membedakan Timur dan Barat,
sebab pada akhirnya salah satu akan dianggap kalah. Selain itu, orang Barat
tidak dapat menilai Barat lebih maju dan Timur tertinggal, sebagaimana kritik
Edward Said terhadap Orientalisme, seperti halnya Timur tidak dapat menilai
Timur lebih mulia sedang Barat tak beradab. Timur dan Barat memiliki
kebijaksanaan (sophia) masing-masing.
Seru kan belajar Filsafat?!