Selasa, 30 Desember 2014

FILSAFAT DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN

Oleh: Yunizar Ramadhani


Ketika Thales mengungkapkan sebuah pernyataan bahwa alam semesta berasal dari air, Yunani mungkin belum sadar bahwa peradaban mereka akan berubah total dan perubahan itu mempengaruhi peradaban seluruh umat manusia. Ungkapan Thales sangat mengejutkan waktu itu, sebab masyarakat yang telah terbiasa dengan cara berfikir mitos – bahwa dewa Zeus beserta keturunannya adalah pencipta dan pengendali alam – dihadapkan dengan cara berfikir baru yang lebih sistematis dan disertai dengan dalil-dalil logis yang kuat.

Cara berfikir sistematis logis itu kemudian mencapai tahap perkembangannya yang signifikan melalui Socrates beserta dua muridnya, Plato dan Aristoteles, yang menurut kebanyakan ilmuwan – khususnya Isaiah Berlin, seorang pemikir Rusia berdarah Inggris, dalam Four Essays of Liberty – pola fikir kita tentang dunia tak pernah jauh dari cara berfikir kedua orang itu: Yang pertama berorientasi idealis, sedang yang terakhir lebih realis. Yang pertama berpirinsip bahwa apa yang kita fahami tentang dunia adalah segala apa yang ada dalam ide kita, sehingga kenyataan adalah ide sedangkan di luar ide hanyalah bayangan daripadanya. Yang terakhir menganggap bahwa dunia di luar kita adalah kenyataan yang saling berhubungan melalui suatu hukum logis. Di sini pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles sudah mengarah kepada persoalan yang lebih radikal (mendasar), yakni persoalan manusia dan pengetahuannya. Aktivitas yang dilakukan para tokoh itu adalah Filsafat.

Sebagian orang menuduh bahwa filsafat – istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Phytagoras yang secara harfiah berarti “cinta kebijaksanaan” – sebagaimana dilakukan oleh para pemikir Yunani dan Abad Pertengahan adalah cara manusia memahami alam semesta beserta segala fenomenanya sebelum ditemukannya alat-alat yang membantu manusia memahami alam secara empirik, namun tentunya tuduhan itu tidaklah benar tatkala pada kenyataannya manusia terus-menerus menemukan segala hal yang tidak mampu dijangkau oleh pengetahuan indrawi, seperti manusia itu sendiri dan pengetahuan. Filsafat akhirnya menjadi jawaban dari segala pertanyaan, baik tentang alam maupun manusia dan pengetahuannya.

Dengan demikian, filsafat bukanlah pengetahuan atau suatu bangunan ilmu, melainkan suatu cara berfikir. Aktivitas berfikir memang menjadi ciri khas manusia. Katakanlah, dalam satu jam setiap hari kita telah melakukan aktivitas berfikir beratus-ratus kali, namun tidak semua aktivitas berfikir kita itu adalah filsafat. Lalu apa yang membedakan filsafat dengan berfikir biasa?

Filsafat berjalan secara sistematis. Dari pertanyaan kepada kesimpulan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Pertanyaan filosofis berkenaan dengan segala hal di balik segala yang tampak, abstrak. Terkadang berupa definisi-definisi, terkadang berupa nilai-nilai. Ketika melihat kursi, misalnya, filsafat tidaklah mempertanyakan ukuran, warna, bentuk dan hal-hal luaran lainnya, melainkan ia mempertanyakan apakah kursi itu benar-benar ada (ontologi), bagaimana kursi itu ada atau bagaimana orang mengetahui kursi itu (epistemologi), lalu apa makna dan nilai etis kursi (aksiologi), dan bagaimana orang bisa sepakat menyebut benda itu “kursi” (filsafat bahasa).  Dengan ini maka ruang lingkup filsafat adalah hal-hal yang radikal, hakikat segala sesuatu, atau segala sesuatu di balik segala sesuatu yang sudah biasa.  Orang-orang menyebutnya dengan metafisika (Arab: “ma ba’da al-thabi’ah), atau dalam tradisi filsafat Islam disebut dengan “al-falsafah al-ula” – meskipun para filosof postmodern dikatakan meruntuhkan metafisika, namun sebenarnya mereka tidaklah sama sekali meluluhlantakkan filsafat, namun mereka hanya mengkritik otoritas makna (logos) (mengenai ini akan dibahas pada kesempatan lain). Olah pikir mengenai hal-hal radikal itu, dengan cara yang sistematis itu, haruslah bersifat komprehensif atau menyeluruh, dalam arti jawaban filosofis harus dapat diterapkan dalam berbagai ruang dan waktu meskipun dalam sejarahnya suatu pemikiran filsafat dikritik oleh pemikiran yang lain. “Filsafat kursi” tidak hanya dapat berlaku untuk kursi tertentu, dalam situasi tertentu, dan di tempat tertentu saja, melainkan makna itu ada bagi setiap kursi.

Mengetahui hal ini kadang timbul pertanyaan menggelitik: Bukankah filsafat dengan karakteristiknya itu terkesan membuang-membuang waktu? Bukankah nampaknya sia-sia berfikir mengenai kursi, padahal kursi sudah tersedia di hadapan kita untuk digunakan? Sudah menjadi kemakluman bersama bahwa setiap tindakan kita diawali dengan aktivitas berfikir. Pemikiran mempengaruhi tindakan. Karena itulah akal mendapat terhormat dan mendapat jabatan paling tinggi di antara mata, mulut, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh. Karena itu pulalah ketika kita melakukan tindakan yang salah, orang akan menghujat: “Kamu tidak punya otak, ya?!” Akal dipuja sepanjang zaman. Kitab suci menceritakan bahwa orang-orang jahat dijebloskan ke neraka karena tidak berfikir (QS.al-Mulk:15). Dalam tradisi filsafat Islam madzhab perpatetik, alam semesta tercipta dari fikiran Tuhan.

Pemikiran biasa sudah berpengaruh cukup besar bagi kehidupan sehari-hari. Bagaimana jika dilihat dalam skala yang lebih besar, seperti masyarakat, bangsa, atau bahkan suatu peradaban? Di sinilah kita dapat melihat filsafat begitu memainkan peran dalam kehidupan manusia. Di sini kami akan memberi contoh kecil:
Sering muncul pertanyaan, mengapa bangsa-bangsa Timur yang memiliki sumber daya alam melimpah justru kalah maju daripada bangsa-bangsa Barat yang tak banyak memiliki sumber daya alam? Jika kita menjawab bahwa hal tersebut karena Barat menuai hasil gerakan kolonialisme selama berabad-abad terhadap Timur, itu adalah jawaban sejarah. Namun apa yang membuat Barat melakukan kolonisasi? Fikiran apa yang ada di benak mereka?. Jika kita menjawab karena Barat menguasai ekonomi Timur, itu jawaban ekonomi. Apa yang membuat mereka melakukan itu? Jika kita menjawab karena melakukan politik penaklukan terhadap Timur, itu tentu jawaban Politik. Fikiran semacam apa yang mendasari tindakan Barat itu?

Filsafat menemukan jawaban yang jauh melampaui jawaban-jawaban tersebut di atas. Ingat bahwa filsafat berbicara segala hal yang mendalam dan radikal. Filsafat menjawab bahwa kemajuan Barat dibanding Timur berujung pada pandangan bangsa-bangsa itu terhadap alam semesta (filsafat alam) dan kedudukan manusia di tengah alam raya (filsafat manusia).

Bangsa-bangsa Timur dengan kebijaksanaannya yang luhur memandang bahwa alam semesta adalah sanak-keluarga, alam semesta adalah entitas yang berkedudukan sama dengan manusia, alam semesta dan manusia merupakan wujud-wujud yang berasal dari wujud primordial yang sama, yakni suatu Ruh Suci yang mengatasi makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (manusia) – Dalam Hinduisme disebut Atman, dalam Islam disebut Allah, dan lain sebagainya . Berdasarkan prinsip kesatuan wujud itu orang-orang Timur menganggap alam adalah bagian dari dirinya sendiri, sehingga mengeksploitasi sumber daya alam adalah sebuah kejahatan etis.

Adapun Barat menganggap alam semesta dengan sumber daya alamnya adalah sesuatu yang ditaklukkan. Barat menempatkan alam sebagai sub-ordinat, sesuatu di luar diri manusia, “yang lain” (the other), sedangkan manusia berada pada posisi ordinat, penguasa, penakluk, “sang diri” (the one). Prinsip Barat ini dipengaruhi oleh pengalaman pahit mereka di Abad pertengahan dimana kemanusiaan direnggut oleh institusi agama. Revolusi kebablasan bangsa-bangsa Barat itu menghasilkan pemikiran radikal yang berporos pada liberalisasi individu, yakni setiap orang memiliki kebebasan penuhnya, dalam cita-cita humanisme dan anthroposentrisme (segala hal terpusat pada manusia).

Sampai di sini kita dapat melihat bahwa pandangan filosofis mengenai alam dan manusia ternyata awal mula fenomena kehidupan yang terpampang di depan kita. Pemikiran menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi tindakan. Dalam sejarahnya, filsafat melecut kemunculan ilmu-ilmu yang kita kenal saat ini, seperti ilmu-ilmu alam (fisika, biologi, kimia), ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, sejarah), ilmu-ilmu humaniora (seni, musik, budaya, peradaban, dan lain-lain). Namun karena ilmu-ilmu tersebut lahir dari orang-orang Barat, maka nilai-nilai dan tujuan yang terkandung dalam ilmu-ilmu itu lebih bersifat penaklukkan. Karena itu, tugas filosof-filosof yang bersemangatkan Timur dan terikat dengan keyakinan keagamaan adalah mengubah nilai-nilai dan tujuan ilmu-ilmu tersebut dalam rangka penyatuan diri manusia dengan Ruh Suci itu.

Makna lain yang bisa kita dapatkan dari uraian mengenai perbedaan pemikiran Timur vs Barat tadi adalah soal standarisasi. Apa yang dimaksud “maju” bagi Timur dan Barat tentu berbeda. Bagi Timur kemajuan kehidupan adalah sejauh mana manusia menyatu dengan alam semesta, sedangkan bagi Barat adalah sejauh mana manusia mampu menaklukkan alam semesta dan mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Karena itu, kita tidak dapat menetapkan satu standar kemajuan untuk membedakan Timur dan Barat, sebab pada akhirnya salah satu akan dianggap kalah. Selain itu, orang Barat tidak dapat menilai Barat lebih maju dan Timur tertinggal, sebagaimana kritik Edward Said terhadap Orientalisme, seperti halnya Timur tidak dapat menilai Timur lebih mulia sedang Barat tak beradab. Timur dan Barat memiliki kebijaksanaan (sophia) masing-masing.

Seru kan belajar Filsafat?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar